My site...cekidot... ^^

Sunday, June 7, 2009

Mola Hidatidosa (Kehamilan Anggur)

BAB I
PENDAHULUAN

Pada umumnya setiap kehamilan berakhir dengan lahirnya bayi yang sempurna. Tetapi dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Seringkali perkembangan kehamilan mendapat gangguan yang dapat terjadi pada berbagai tehap. Tergantung pada tahap mana gangguan itu terjadi, maka kehamilan dapat berupa keguguran, kehamilan ektopik, prematuritas,kematian janin dalam rahim atau kelainan konggenital. Kesemuanya merupakan kegagalan fungsi refroduksi. Demikian pula dengan penyakit tropoblas, pada hakekatnya merupakan kegagalan reproduksi. Pada keadaan ini janin tidak berkembang menjadi janin yang tidak sempurna, melainkan berkembang menjadi keadaan patologik yang terjadi pada minggu-minggu pertama kehamilan, berupa degenerasi hidropik pada jonjot korion, sehingga menyerupai gelembung yang disebut mola hidatidosa. Mola dapat mengandung janin (mola parsial) atau tidak terdapat janin di dalamnya (mola komplit). Pada umumnya penderita mola hidatidosa akan baik kembali, tetapi ada diantaranya mengalami degenerasi berupa koriokarsinoma.(2)
Pada kebanyakan kasus, mola tidak berkembang menjadi keganasan, namun sekitar 2-3 kasus per 1000 wanita, mola dapat berubah menjadi ganas dan disebut koriokarsinoma. Kemungkinan terjadinya mola berulang berkisar 1 dari 1000 wanita. Kadar hormon yang dihasilkan oleh mola hidatidosa lebih tinggi dari kehamilan biasa.


BAB II
MOLA HIDATIDOSA

2. 1 Definisi
Hamil anggur atau Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal berupa tumor jinak yang terjadi sebagai akibat kegagalan pembentukan “bakal janin”, sehingga terbentuk jaringan permukaan membran (vili) mirip gerombolan buah anggur. Tumor jinak mirip anggur tersebut asalnya dari trofoblas, yakni sel bagian tepi ovum atau sel telur yang telah dibuahi, yang nantinya melekat di dinding rahim dan menjadi plasenta (tembuni) serta membran yang memberi makan hasil pembuahan.
Trofoblast memegang peranan penting dalam proses implantasi blastokista, karena kemampuannya untuk menghancurkan jaringan endometrium. Setelah zigot memasuki endometrium (yang kini berubah menjadi desidua), trofoblast dan khususnya sitotrofoblast tumbuh terus, dimana sitotrofoblast bersifat invasif, dapat membuka pembuluh darah, dan lewat jalan darah dapat di bawa ke paru – paru. Pada kurang lebih 50% wanita yang melahirkan dapat ditemukan sel – sel trofoblast dalam paru – paru; sel – sel tersebut tidak tumbu terus tetapi mati, berhubungan dengan kemampuan imunologik wanita yang bersangkutan.(1)

2.2 Patofisiologi

Mola hidatidosa dapat terjadi karena:(2)
 Menurut teori missed abortion, mudigah mati pada kehamilan 3 – 5 minggu, sehingga terjadi perubahan sistem aliran darah terhadap buah kehamilan, di mana terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari villi dan akhirnya terbentuk gelembung – gelembung.
 Menurut teori Reynolds, kematian mudigah menybabkan gangguan angiogenesis .
 Menurut park, sel – sel trofoblast yang abnormal, memiliki fungsi yang abnormal juga, di mana terjadi resorpsi cairan yang berlebihan ke dalam villi sehingga timbul gelembung. Hal ini yang menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigah.

2.3 Etiologi
Walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak abad keenam, tetapi sampai sekarang belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Berbagai teori telah dianjurkan, seperti teori infeksi, defisiensi makanan, terutama protein yang tinggi dan teori kebangsaaan. Ada pula teori consanguinity. Teori yang paling cocok dengan keadaan adalah teori dari Acosta Sison, yaitu defisiensi protein, karena kenyataan membuktikan bahwa penyakit ini lebih banyak ditemukan pada wanita dari golongan sosio ekonomi rendah. Akhir – akhir ini dianggap bahwa kelainan tersebut terjadi karena pembuahan sel telur di mana intinya telah hilang atau tidak aktif lagi oleh sebuah sperma yang mengandung 23 x (haploid) kromosom, kemudian membelah menjadi 46 xx, sehingga mola hidatidosa bersifat homozigot, wanita dan androgenesis. Kadang – kadang terjadi pembuahan oleh 2 sperma, sehingga terjadi 46 xx atau 46 xy.(2)

2.4 Klasifikasi
Oleh IUAC (International Union Against Cancer) diadakan klasifikasi sederhana penyakit trofoblast, yang mempunyai keuntungan bahwa angka – angka yang diperoleh dari berbagai negara di dunia dapat di bandingkan.
Klasifikasi itu ialah: (1)
A. Ada hubungan dengan kehamilan
B. Tidak ada hubungan dengan kehamilan
Secara diagnosis mola hidatidosa dan koriokarsinoma villosum/non villosum dibuat berdasarkan pemeriksaan histopatologik, sedangkan koriokarsinoma klinis berdasarkan kenaikan kadar HCG dan adanya metastasis. Istilah koriokarsinoma villosum dan non villosum diperkenalkan oleh Soetomo Tjokronegoro tahun 1961. Berikut pembagian mola hidatidosa berdasarkan klinis dan histopatologiknya:(2)

A. Diagnosis Klinik
i. Non metastatik
ii. Metastatik
1. Lokal (pelvik)
2. Ekstrapelvik

B. Diagnosis Morfologik
i. Mola hidatidosa
1. Non invasive
2. Invasive
ii. Khoriokarsinoma
iii. Tidak bisa ditentukan *
* Golongan tidak bisa ditentukan terdiri atas penyakit trofoblast dimana tidak terdapat bahan – bahan dari otopsi, atau operasi, atau kerokan untuk membuat diagnosis morfologik, akan tetapi diagnosis dibuat dengan cara – cara lain (hormonologik).(1)

Dalam kepustakaan dunia tahun 1983 klasifikasi yang dianjurkan sekarang ialah sebagai berikut:(2)

1. Histopathological entities
a. Complete hydatidiforme mole
b. Partial hyadtidiforme mole
c. Invasive mole
d. Gestational chorio carcinoma
e. Placental site trophoblastic tumour

2. Clinical terms
a. Gestational trophoblastic disease
Termasuk mola hidatidosa, invasive mole, chorio carcinoma, dan placental site trophoblastic tumours
b. Gestational trophoblastic tumours
Adanya keganasan dibuktikan secara klinik, peninggian kadar HCG dan metastasis, tanpa gambaran PA.

Yang dimaksud mola hidatidosa ialah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar di mana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh villi korialis mengalami perubahan hidropik. Dalam hal ini disebut complete mole, sedangkan bila disertai janin atau bagian dari janin disebut partial mole. Menurut Vassilakos, complete mole dan partial mole merupakan kesatuan yang berbeda, antara keduanya ada perbedaan klinik, histopatologik, sitogenetik, maupun prognostic.
Secara makroskopis, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung – gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran yang bervariasi. Gambaran histopatologik yang khas dari mola hidatidosa ialah:
• Edema stroma villi,
• Tidak ada pembuluh darah pada villi, dan
• Proliferasi sel – sel trofoblast.


Complete mole Incomplete mole
Perkembangan penyakit trofoblas ini amat menarik dan ada tidaknya janin telah digunakan untuk menggolongkannya menjadi bentuk mola yang komplit (klasik) dan parsial (inkomplit).

a. Mola Hidatidosa Komplit ( Klasik)(4)
Suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili khorialis berubah menjadi kumpulan gelembung yang jernih yang mempunyai ukuran yang bervariasi mulai dari yang lebih mudah terlihat sampai beberapa cm dan bergantung dalam beberapa cm dan bergantung dalam beberapa kelompok dari tangkai yang tipis. Massa tersebut dapat tumbuh cukup besar sehingga memenuhi uterus yang besarnya biasa mencapai ukuran uterus kehamilan normal lanjut.(2)
Struktur histologiknya ditandai oleh : (4)
1. Degenerasi hidropik dan pembengkakan stroma vilus
2. Tidak adanya pembuluh darah dalam vili yang membengkak
3. Proliferasi epitel trofoblas hingga mencapai derajat yang beragam
4. Tidak ditemukan janin dan amnion

b. Mola Hidatidosa Inkomplit ( Parsial)(2)
Secara makroskopik tampak gelembung mola yang disertai janin atau bagian dari janin. Umumnya janin mati pada bulan pertama atau ada juga yang hidup sampai cukup besar atau bahkan aterm. Perubahan hidatidosa bersifat fokal serta belum begitu jauh dan masih terdapat janin atau sedikitnya kantong amnion. Pada sebagian vili yang biasanya avaskuler terjadi pembengkakan hidatidosa yang berjalan lambat, sementara vili lainnya yang vaskuler dengan sirkulasi darah fetus-plasenta yang masih berfungsi tidak mengalami perubahan. Bila ada mola yang disertai janin ada 2 kemungkinan, pertama kehamilan kembar dimana 1 janin tumbuh normal dan hasil konsepsi yang 1 lagi mengalami mola parsial.

2.4 G e j a l a
Layaknya orang hamil, tanda awal persis kehamilan biasa, misalnya terlambat haid, keluhan mual, muntah. Hanya saja keluhan tersebut lebih hebat. Jika diperiksa tes kehamilan, hasilnya positif juga. Tapi bukan berarti jika muntah-muntah hebat sampai lemah kita dapat langsung mendiagnosa bahwa itu mola hidatidosa. Masih ada tanda lain dan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosa.
Selain gejala umum di atas masih ada tanda – tanda lain seperti tidak adanya tanda-tanda gerakan janin, rahim nampak lebih besar dari umur kehamilan, misalnya terlambat 2 bulan, rahim nampak seperti hamil 4 bulan, walaupun ada kasus – kasus dimana uterusnya lebih kecil atau sama besar walaupun jaringannya belum di keluarkan. Dalam hal ini perkembangan jaringan trofoblas tidak begitu aktif sehingga perlu di pikirkan kemungkinan adanya jenis dying mole.
Perdarahan merupakan gejala utama mola. Biasanya keluhan perdarahan inilah yang menyebabkan pasien datang ke rumah sakit. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi antara bulan pertama sampai ke tujuh dengan rata – rata 12 – 14 minggu. Sifat perdarahan bisa intermitten, sedikit – sedikit atau sekaligus banyak sehingga menyebabkan syok atau kematian. Karena perdarahan ini maka umumnya pasien mola hidatidosa masuk dalam anemia.
Perlu dipikirkan adanya penyulit – penyulit lain pada mola seperti preeklampsi, tirotoksikosa, emboli sel trofoblas ke dalam paru, dan kista lutein. Pada mola preeklampsi biasanya terjadi lebih muda dari kehamilan biasa. Yang akhir – akhir ini banyak dipermasalahkan adalah tirotoksikosa. Menurut Curry insidensinya mencapai 1%, sedangkan menurut Martaadisoebrata angka insidensinya lebih tinggi yaitu 7,6%. Terjadinya tirotoksikosa pada mola hidatidosa berhubungan erat dengan besarnya uterus. Makin besar uterus makin besar kemungkinan terjadinya tirotoksikosa. Martaadisoebrata menganjurkan agar pada setiap kasus mola dicari tanda – tanda tirotoksikosa, karena prognosisnya akan jauh lebih buruk. Biasanya penderita meninggal karena krisi tiroid.
Migrasi sel trofoblas ke paru – paru dapat terjadi secara normal tanpa memberikan gejala apa – apa. Tetapi pada kasus mola kadang – kadang jumlah sel trofoblas ini demikian banyak sehingga dapat menimbulkan emboli paru – paru akut yang bisa menyebabkan kematian. Mola juga sering disertai dengan kista lutein, baik unilateral maupun bilateral. Umumnya kista ini segera menghilang setelah jaringan mola dikeluarkan, tetapi ada juga kasus – kasus dimana kista lutein baru ditemukan pada waktu follow up. Inisidensinya berdasarkan pemeriksaan klinis kurang lebih 10,2%, tetapi bila menggunakan ultrasonografi angkanya meningkat sampai 50%. Kasus mola dengan kista lutein mempunyai resiko 4 kali lebih besar untuk mendapat degenerasi keganasan di kemudian hari daripada kasus tanpa kista.

2.5 Diagnosis
Adanya wanita dengan amenorrea, perdarahan per vaginam, uterus dengan ukuran yang lebih besar dari usia kehamilannya dan tidak ditemukan tanda kehamilan dan tidak ditemukan tanda kehamilan pasti, sepeti ballotement dan detak jantung anak perlu di curigai adanya suatu mola hidatidosa. Untuk memperkuat diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan kadar Human Chorionic Gonadotropin (HCG) dalam darah atau urin, baik secara bioassay, immunoassay, maupun radioimmunoassay. Peninggian HCG, terutama setalah hari ke 100, sangat sugestif. Bila belum jelas, dapat dilakukan pemeriksaan foto abdomen diman pada pemeriksaan radiologis atau rontgen, tidak terlihat gambaran tulang janin, yang tampak justru gambaran mirip sarang lebah (honeycomb), biopsi transplasental, pemeriksaan dengan sonde uterus yang diputar seperti yang dianjurkan oleh Wiknjosastro atau yang lebih mutakhir dengan menggunakan ultrasonografi, di mana kasus mola menunjukkan gambaran yang khas, yaitu berupa badai salju (snow flake pattern).

gambaran mirip sarang lebah (honeycomb)

Diagnosis yang paling tepat bila kita telah melihat gelembung molanya. Tetapi bila kita menunggu sampai gelembung mola keluar biasanya sudah terlambat, karena biasanya pengeluaran gelembung mola disertai perdarahan yang banyak dan keadaan umum pasien menurun. Yang baik ialah bila dapat mendiagnosa mola sebelum gelembung keluar.

Secara sistematis disimpulkan :
1. Anamnesis(1)
 Terdapat gejala-gejala hamil muda yang kadang-kadang lebih nyata dari kehamilan biasa
 Kadangkala ada tanda toksemia gravidarum
 Terdapat beberapa perdarahan yang sedikit atau banyak, tidak teratur, warna tengguli tua atau kecoklatan seperti bumbu rujak.
 Pembesaran uterus tidak sesuai (lebih besar) dengan tua kehamilan seharusnya
 Keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada) yang merupakan diagnosa pasti.

2. Pemeriksaan fisis(1)
Inspeksi :
 Muka dan kadang-kadang badan kelihatan pucat kekuning-kuningan yang disebut muka mola (mola face)
 Kalau gelembung mola keluar dapat dilihat jelas
Palpasi :
 Uterus membesar tidak sesuai dengan umur kehamilan, terasa lembek
 Tidak terba bagian-bagian janin dan ballotement, juga gerakan janin
 Adanya fenomena harmonika : darah dan gelembung mola keluar dan fundus uteri turun lalu naik lagi karena terkumpulnya darah baru
Auskultasi :
 Tidak terdengar denyut jantung janin
 Terdengar bising dan bunyi khas

3. Pemeriksaan penunjang(1,3,4)
 Pemeriksaan  -hCG atau Serum, misalnya Galli Mainini pada mola hidatidosa kadar gonadotropin dalam darah dan urin sangat meningkat maka reaksi Galli Mainini dilakukan secara kuantitatif.
 Foto thoraks, ada gambaran emboli udara atau matastase ke paru
 USG menunjukan gambaran badai salju (snow flake pattern)
 Pemeriksaan sonde uterus (Hanifa), dimana sonde mudah masuk ke dalam cavum uteri, pada kehamilan biasanya ada tahanan oleh janin
 Tes Acosta Sison, dengan tang abortus gelembung mola dapat dikeluarkan
 Pemeriksaan T3 dan T4 bila ada gejala tirotoksikosis
 Pemeriksaan histologik :
- Mola hidatidosa komplit : gambaran proliferasi trofoblas, degenerasi hidrofik vili khorialis dan berkurangnya vaskularisasi/ kapiler dalam stromanya
- Mola hidatidosa parsial : gambaran edema vilinya fokal dan proliferasi trofoblasnya ringan dan terbatas pada lapisan sinsitiotrofoblas

2.6 Pengobatan
Pada dasarnya mola (hamil anggur) adalah tumor jinak, namun dapat berkembang menjadi ganas, kemungkinan menjadi ganas sekitar 20%.
Prinsip penatalaksanaan adalah:

1. Perbaiki keadaan umum.
Yang termasuk usaha ini misalnya pemberian transfusi darah untuk memperbaiki anemia atau syok dan menghilangkan atau mengurangi penyulit seperti preeklampsi dan tirotoksikosa. Preeklampsi diobati seperti pada kehamilan biasa sedang tirotoksikosa diobati sesuai dengan protokol bagian penyakit dalam, antara lain dengan inderal.

2. Pengeluaran jaringan mola.
a. Vakum kuretase
Setelah keadaan umum diperbaiki dapat dilakukan vakum kuretase tanpa pembiusan. Untuk memperbaiki kontraksi diberikan pula uterotonika. Vakum kuretase dilanjutkan dengan sendok kuret biasa yang tumpul. Tindakan kuret cukup dilakukan satu kali saja, asal bersih. Kuret kedua hanya dilakukan bila ada indikasi. Sebelum tindakan kuret sebaiknya disediakan darah untuk menjaga kemungkinan perdarahan yang banyak.
b. Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada wanita yang telah cukup umur dan mempunyai cukup anak. Alasan untuk melakukan histerektomi ialah karena umur tua dan paritas tinggi merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya keganasan. Batasan yang dipakai adalah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang bahwa pada sediaan histerektomi bila dilakukan pemeriksaan histopatologik sudah tampak adanya tanda – tanda keganasan berupa mola invasif. Ada beberapa ahli yang menganjurkan agar pengeluaran jaringan dilakukan dilakukan melalui histerektomi. Tetapi cara ini tidak begitu populer dan sudah ditinggalkan.

3. Terapi profilaksis dengan sitostatika.
Terapi profilaksis diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadinya keganasan misalnya umur tua dan paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan histerekromi atau kasus mola dengan hasil histopatologi yang mencurigakan. Biasanya diberikan methotrexate atau actinomycin D. Ada beberapa ahli yang tidak menyetujui terapi profilaksis ini dengan alasan bahwa jumlah kasus mola yang menjadi ganas tidak banyak dan sitostatika merupakan obat berbahaya. Goldstein berpendapat bahwa pemberian sitostatika profilaksis dapat menghindarkan keganasan dengan metastasis, serta mengurangi koriokarsinoma di uterus sebanyak 3 kali.

4. Pemeriksaan tindak lanjut.
Hal ini perlu dilakukan karena mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah mola hidatidosa. Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun. Untuk tidak mengacaukan pemeriksaan selama periode ini pasien dianjurkan tidak hamil dulu dengan menggunakan kondom, diagfragma, atau pil anti hamil. Penggunaan pil hamil masih ada pertentangan. Kalangan yang mendukung penggunaan pil anti hamil mengatakan bahwa pil kombinasi, di samping dapat menghindarkan kehamilan juga dapat menahan LH dari hipofisis sehingga tidak terjadi reaksi silang dengan HCG. Pihak lain menentangnya justru karena estrogen dapat mengaktifkan sel – sel trofoblas. Bagshawe berganggapan bila pin anti hamil diberikan sebelum kadar HCG jadi normal dan kemudian wanita ini mendapat koriokarsinoma, maka wanita ini dapat menjadi resisten terhadap sitostatika.
Kapan penderita mola dapat dianggap sehat kembali? Sampai sekarang belum ada kesepakatan. Curry menyatakan sehat bila HCG dua kali berturut – turut normal. Ada juga yang mengatakan bila sudah melahirkan anak yang normal. Selama pengawasan, secara berkala dilakukan pemeriksaan ginekologik, kadar HCG, dan radiologik. Cara yang paling peka untuk menentukan adanya keganasan dini adalah dengan pemeriksaan kadar HCG yang menetap untuk beberapa lama. Apalagi kalau meninggi. Hal ini menunjukkan masih ada sel – sel trofoblas yang aktif. Cara yang umum dipakai sekarang ialah dengan radioimmunoassay terhadap HCG B – sub unit. Hanya saja pemeriksaan ini masih mahal, jadi jarang digunakan pada negara berkembang.

2.7 Diagnosis Banding
1.Kehamilan ganda
Merupakan suatu kehamilan dengan dua janin atau lebih. Untuk mempertimbangkan ketepatan diagnosis, haruslah difikirkan kemungkinan kehamilan kembar bila didapatkan hal-hal berikut : (1) besarnya uterus melebihi lamanya amenore (2) uterus bertambah lebih cepat dari biasanya (3) penambahan berat badan ibu yang mencolok yang tidak disebabkan edema atau obesitas (4) banyak bagian kecil teraba (5) teraba bagian besar janin (6) teraba dua balotemen. Diagnosis pasti dapat ditentukan dengan (1) terabanya 2 kepala, 2 bokong dan satu atau dua punggung (2) terdengar dua denyut jantung yang letaknya berjauhan dengan perbedaan kecepatan paling sedikit 10 denyut permenit (3) sonogram dapat membuat diagnosis kehamilan kembar pada triwulan pertama (4) roentgen foto pada abdomen.

2.Hidramnion
Hidramnion atau kadang-kadang disebut juga polihidramnion adalah keadaan dimana banyaknya air ketuban melebihi 2000 cc. Sampai sekarang etiologi hidramnion belum jelas, tetapi diketahui bahwa hidramnion terjadi bila produksi air ketuban bertambah, bila pengeluaran air ketuban terganggu atau kedua-duanya. Gejala hidramnion terjadi semata-mata karena faktor mekanik sebagai akibat penekanan uterus yang besar kepada organ-organ sekitarnya. Uterus yang besar akan menekan diafragma sehingga si wanita merasa sesak. Penekanan vena-vena yang besar menyebabkan edem terutama pada kedua tungkai, vulva dan abdomen. Diagnosis hidramnion mudah ditegakkan apabila ditemukan uterus yang lebih besar dari tua kehamilan, bagian dan detak jantung janin sukar ditentukan. Bila meragukan dapat dilakukanpemeriksaan radiologik atau ultrasonografi.(3)

3. Abortus
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan dan sebagai batasan digunakan kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Abortus harus diduga bila seorang wanita dalam masa reproduksi mengeluh tentang perdarahan pervaginam setelah mengalami haid terlambat, sering terdapat pula rasa mules. Kecurigaan tersebut diperkuat dengan ditemukannya kehamilan muda pada pemeriksaan bimanual dan dengan tes kehamilan. Pada pemeriksaan USG tampak daerah anekhoik didalam kavum uteri yang bentuknya kadang-kadang menyerupai kantong gestasi, sehingga dapat disalahtafsirkan sebagai kehamilan ganda. Derah anekhoik tersebut berasal dari perdarahan subkorionik. Gambaran USG pada abortus inkomplitus tidak spesifik. Tergantung dari usia gestasi dan banyaknya sisa jaringan konsepsi uterus mungkin masih memebesar, walaupun tidak sesuai lagi dengan usia kehamilan. Kavum uteri mungkin berisi kantong gestasi ysng bentuknya tidak utuh lagi.(4)

2.8 Prognosis
Kematian pada mola hidatidosa disebabkan karena perdarahan, infeksi, eklampsi, payah jantung, atau tirotoksikosa. Di negara maju, kematian karena mola hampir tidak ada lagi, tetapi pada negara berkembang angka kematian karena mola masih tinggi, yaitu berkisar 2,2% sampai 5,7%. Sebagian besar pasien mola akan sehat kembali setelah jaringannya dikeluarkan, tetapi ada sekelompok wanita yang kemudian menderita degenerasi keganasan menjadi koriokarsinoma.
Pada dasarnya penderita mola dianjurkan tidak hamil sampai pengawasan lengkap selesai dilakukan. (Sydney Gynaecological Oncology Group). Bagi wanita yang belum punya anak, dianjurkan memakai alat kontrasepsi untuk menunda kehamilan selama 1 tahun, dan bagi yang sudah punya anak dianjurkan tidak hamil selama 2 tahun. Dikarenakan 20% pasien dengan mola komplit dan 5-7 % pasien dengan mola parsial dapat menjadi penyakit yang berulang. Follow up yang ketat sangat diperlukan. Kadar  -hCG perlu dimonitor setiap minggu sampai diperoleh 3 kali angka yang normal dan kemudian setiap bulan untuk 6 bulan. Sangat penting bagi pasien untuk menggunakan kontrasepsi selama 6 bulan sehingga peningkatan  -hCG yang normal terjadi dalam kehamilan tidak dikacaukan dengan penyakit yang berulang. Pil KB tidak meningkatkan resiko dari penyakit post mola. Setelah angka  -hCG normal selama 6 bulan, kehamilan menjadi aman.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hanifa, W. Gangguan Bersangkutan dengan Konsepsi. Dalam: Ilmu Kandungan, edisi II. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2005; 250 – 258.
2. Hanifa, W. Patologi Kehamilan dan Penanganannya Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2006; 323 – 337.
3. Moechtar R, . Dalam: Sinopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis dan Obstetri Patologis. Edisi II. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC. 1998; 226-37
4. Cunningham FG. Penyakit dan Kelainan pada Plasenta. Obstetri Williams. Erlangga university Press : 1994.p.637-45.

No comments: